Selasa, 5 September 2023 12:36 WIB - Dilihat: 24
Jakarta I elbagus.com
Jaksa Agung RI kembali melakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana, dimana penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang telah disetujui pada hari Senin(04/09/2023), sebanyak 17 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
JAM Pidum menjelaskan bahwasannya 17 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dengan Tersangka yang terlibat didalamnya yaitu diantaranya:
-Tersangka Zulkifli pgl Ipung bin Usman dari Kejaksaan Negeri Tanah Datar, yang disangka melanggar Pasal 480 KUHP tentang Penadahan.
-Tersangka Andri als. Botak bin Safril dari Kejaksaan Negeri Tanah Datar, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (2) KUHP tentang Penadahan.
-Tersangka Muhammad Toni alias Toni bin H. Pansyah dari Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara, yang disangka melanggar Kesatu Pasal 310 Ayat (4) atau Kedua Pasal 310 Ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.
-Tersangka Riski bin Alm. Juhansyah dari Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara, yang disangka melanggar Kesatu Pasal 310 Ayat (4) atau Kedua Pasal 310 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.
-Tersangka Arterius Kuntet alias Kuntet anak dari Mickael Jemat dari Kejaksaan Negeri Sintang, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
-Tersangka Anuwar bin Basjah dari Kejaksaan Negeri Bireuen, yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
-Tersangka Furqan Murdani dari Kejaksaan Negeri Bireuen, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
-Tersangka M. Satrio Budiharjo bin Sumardi dari Kejaksaan Negeri Banda Aceh, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian Jo. Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan Jo. Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
-Tersangka Ronny Hutasoit dari Cabang Kejaksaan Negeri Tapanuli Utara di Siborongborong yang disangka melanggar Pasal 406 Ayat (1) KUHP tentang Perusakan.
-Tersangka Halim Perdana Atmaja alias Halim dari Kejaksaan Negeri Tanjung Balai, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
-Tersangka Ariel Putra Simamora dari Kejaksaan Negeri Labuhanbatu, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
-Tersangka Nurkhalifah Tussaada binti Aplis dari Cabang Kejaksaan Negeri Gowa di Malino, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
-Tersangka Alif Noer Faturahman bin Hendrik Bahrun dari Kejaksaan Negeri Gowa, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
-Tersangka Hendrik Ronal Wiyai dari Kejaksaan Negeri Merauke, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
-Tersangka Yosep Kaumfu alias Ocep dari Kejaksaan Negeri Kepulauan Yapen, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
-Tersangka M. Nurul Azmi dari Kejaksaan Negeri Lombok Tengah, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
-Tersangka Riswandi Kholid dari Kejaksaan Negeri Mataram, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Selanjutnya, saya memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.”, jelas JAM-Pidum. Senin(04/09/2023).
JAM-Pidum juga menjelaskan terkait dengan alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini yaitu antara lain:
-Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
-Tersangka belum pernah dihukum dan tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana.
-Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
-Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
-Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
-Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.
-Pertimbangan sosiologis , Masyarakat merespon positif.
Sumber : Kejaksaan Agung
(elb)