Panglong Putra Sembaba

MELURUSKAN ARGUMENTASI YUSRIL YANG MEMBENARKAN PRESIDEN BOLEH TIDAK NETRAL

Jumat, 26 Januari 2024 06:35 WIB - Dilihat: 170

IMG_20231114_100737

elbagus.com

Dalam pernyataannya, Prof. Yusril Ihza Mahendra (YIM) sebagai Akademisi, Ketua Umum Parpol PBB sekaligus Tim Sukses Prabowo-Gibran menyatakan bahwa;” UU kita tidak menyatakan Presiden harus netral, tidak boleh berkampanye dan tidak boleh memihak. Ini adalah konsekwensi dari Sistem Presidensial yang kita anut, yang tidak mengenal pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan jabatan Presiden yang maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 1945.”

Sepintas jika diperhatikan pernyataan Prof. Yusril yang membenarkan Presiden boleh kampanye dan boleh tidak netral, yang didasarkannya pada Konstitusi hasil amandemen pertama sampai ke empat, dan UU N0.17/2017 itu seolah wajar dan dapat dibenarkan. Bahkan sebetulnya Prof. Yusril bisa menambahkannya lagi dengan ketentuan UU NO.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya di Pasal 23 ayat (1) yang berbunyi; “Setiap orang bebas untuk memilih, dan mempunyai keyakinan politiknya”. 

Namun ingat, masyarakat luas selama ini sudah sangat mengetahui, betapa Presiden Jokowi yang diam-diam telah memanfaatkan dengan baik hak politiknya yang diatur oleh Konstitusi dan beberapa UU itu, sangat sarat dengan pelanggaran, yang bukan hanya bersifat etik ataupun normatif, melainkan pula bersifat administratif dan pidana. 

Keberpihakan Presiden yang dimanifestasikan dalam bentuk kebijakan atau keputusan–baik secara langsung maupun tak langsung– misalnya, Presiden telah nyata menggunakan instrumen kekuasaan yang dimilikinya untuk mendukung dan memenangkan pasangan Capres tertentu, yakni Prabowo-Gibran. Ini fakta yang sudah menjadi rahasia umum !.

Kenyataan ini sesungguhnya telah menjerumuskan diri Presiden Jokowi sendiri pada penyalah gunaan wewenang dan kekuasaannya sebagai Presiden yang merupakan Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. Jika tidak demikian, tentunya atmosfir perpolitikan di Indonesia di beberapa bulan belakangan ini, tidak akan dipenuhi berbagai protes dan aksi dari para akademisi, politisi dan budayawan.

Presiden Jokowi telah mencampur adukkan kewenangannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, karenanya Presiden Jokowi bisa dianggap telah melanggar UU, sebagaimana yang dimaksud dalam UU NO.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya yang tertera di Pasal 17 ayat (2) huruf (a,b dan c). Tindakan Presiden Jokowi yang demikian, jika tak cukup dianggap telah melakukan pelanggaran etis dan norma sosial, karena Presiden harusnya adil, netral dan mengayomi semua pihak, juga bisa dianggap melakukan pelanggaran UU NO.7/2017. 

Presiden dan Wakil Presiden memang diperbolehkan untuk berkampanye dalam Pilpres maupun Pileg, akan tetapi dalam Pasal 299 ayat (1) UU NO.7/2017 Tentang PEMILU itu sudah tegas dinyatakan, bahwa Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye SEPANJANG TIDAK TERKAIT HUBUNGAN KELUARGA SEDARAH/SEMENDA SAMPAI DERAJAT KETIGA, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pasangan Calon. Dlsb.

Pertanyaannya sekarang, memangnya Gibran Rakabuming Raka itu ada hubungan darah dengan Presiden Jokowi ataukah tidak? Jika tidak, memangnya Gibran anak siapa? Oke, masihkah belum cukup juga banyaknya UU yang dilanggar ? Baiklah, saya tambahkan lagi, ternyata bukan hanya melanggar UU NO.30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, juga melanggar UU NO.17/2017 Tentang PEMILU, akan tetapi juga telah telanggar TAP MPR NO.XI/1998 dan melanggar pula UU NO.28/1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN.

Dari sekian banyaknya UU yang dilanggar , saya pikir upaya untuk melindungi perangai politik yang akhir-akhir ini sangat norak dan brutal, hanya dengan berlindung di balik kelemahan UUD 1945 yang sudah empat kali diamandemen tidaklah cukup !.

Rakyat ternyata jauh lebih dulu tau dan cerdas menyikapinya, karenanya jangan heran kepercayaan publik pada kinerja Jokowi yang menurut survei konsultan politiknya berada di angka 75 sampai 80 % itu tidak equivalent dengan survei perolehan elektabilitas Prabowo-Gibran yang selalu mandeg, stagnan di angka 40 % !…(SHE).

26 Januari 2024.

Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Pemerhati Politik.

(Red/elbagus) 

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini